Pagi yang cerah diterangi dengan mentari yang bersinar
terang yang sedikit ditutupi oleh awan diiringi oleh angin sepoi – sepoi yang
membuat suasana sejuk di hati. Di suasana yang cerah itu, tampak seorang
perempuan dengan rambut kepangnya sedang asyik dengan selimutnya.
“Widya! Ayo bangun, sayang! Kamu ingin terlambat lagi?”
suara itu berulang kali didengarnya sehingga membuatnya bosan sendiri.
Dengan terpaksa, Widya pun beranjak dari tempat tidurnya
dan melangkah menuju ke kamar mandi dengan perasaan yang kesal. Tapi dengan
cepat dibuangnya rasa kesalnya itu dan bergegas menuju kamar mandi.
Tak sampai lima menit, Widya sudah siap berangkat dengan
pakaian yang rapi dengan dihiasi rambut kepangnya yang khas. Widya memang
berbeda dengan perempuan yang lain. Biasanya, perempuan zaman sekarang lebih
mementingkan penampilannya bahkan harus menghabiskan waktu yang lama untuk
mandi. Tapi Widya berbeda, dia tidak peduli dengan kecantikannya dan lebih
mementingkan kekuatannya agar bisa melindungi dirinya dan bisa membantu orang
tuanya mendapatkan penghasilan yang baik.
Dengan cepat Widya melangkah ke ruang makan dan langsung
menyomot makanan yang ada dan langsung dengan cepat pergi agar tidak terlambat.
Baru selangkah Widya meninggalkan rumahnya, Widya teringat dengan ibunya.
Dengan secepat kilat, Widya menjabat tangan ibunya dan melanjutkan langkahnya
ke sekolah.
“Aduh, aku bisa terlambat kalau begini. Aku harus bisa
lari lebih cepat sebelum gerbang ditutup,” katanya sambil seraya melirik jam.
Widya termasuk perempuan yang larinya cukup cepat. Dari
dulu memang Widya bercita – cita untuk menjadi atlet pelari yang handal. Dia
sering sekali berlatih untuk berlari sehingga membuatnya bisa berlari begitu
cepat dibandingkan perempuan yang lain bahkan mampu mengalahkan laki – laki
sekalipun.
Tak lama dari itu, Widya sudah sampai ke depan gerbang
sekolah. Dengan nafas yang terengah-engah dan perasaan yang sedikit lega, Widya
akhirnya bisa masuk ke sekolah tanpa terlambat sedikitpun.
“Hei , Wid! Tumben tidak terlambat hari ini,” suara pria
terdengar dari belakang Widya yang mengagetkannya.
“Aduh, Adnan! Bikin jantungku mau copot saja kamu ini!
Untung aku tidak jantungan, kalau tidak kamu pasti sudah kehilangan sahabatmu
yang paling baik ini.”
“Huh, Siapa juga yang mengagetkanmu. Aku cuma menyapa
kamu saja.”
“Sudahlah hentikan! Aku malas ribut dengan kamu hari
ini,” kata Widya seraya menunjukan mukanya yang cemberut.
“Aduh, jangan marah dong. Istirahat nanti aku traktir
bakso deh!”
Seketika wajah Widya yang tadinya cemberut berubah cerah
seperti layaknya mentari pagi pada hari ini. Adnan memang paling pandai
menghibur hati Widya. Setiap Widya merasa sedih, dia selalu ada untuk menghibur
Widya.
Mereka berdua pun bergegas menuju ke kelas mereka masing-masing.
Tanpa disengaja Widya menabrak salah seorang cowok yang berjalan di depannya.
Dia kehilangan keseimbangannya dan hampir saja terjatuh. Tapi, dengan cepat
cowok yang ditabraknya tadi menangkapnya. Suasana hening meliputi mereka.
Mereka berdua pun terdiam dan saling menatap mata dengan dalam. Tak beberapa
lama kemudian cowok itu sadar dan langsung melepaskan tubuh Widya, sehingga Widya
pun jatuh tersungkur.
“Aduh, apa maksudnya ini!”
“Salah kamu sendiri! kenapa juga sampai menabrak segala!”
“Eh sudah… sudah! Kalian jangan berkelahi disini, nanti
dilihat oleh guru loh.”
Cowok tersebut bernama Dito. Dia adalah musuh bebuyutan Widya.
Setiap kali mereka bertemu selalu saja berkelahi layaknya kucing dan anjing. Dito
juga termasuk cowok yang memiliki kemampuan berlari yang cukup cepat dan
merupakan saingan terberat Widya, karena itu Widya tidak pernah mau kalah dari Dito.
Seketika mereka berdua pun berhenti berkelahi. Tapi
sorot mata mereka tidak berhenti bergulat saling menatap. Mereka berdua saling
menatap dengan mata yang penuh kebencian. Kilatan petir seolah-olah muncul
menghubungkan mata mereka yang menandakan tak ada satu pun yang mau mengalah.
Keduanya pun berpisah dengan perasaan dongkol di dalam hati.
***
Pagi ini tidak seperti biasanya para siswa berkumpul di
depan mading sekolah. Sepertinya ada sesuatu yang menghebohkan disana. Widya
tak mau kalah, dia berusaha menerobos diantara para siswa yang lain. Ternyata
berita yang menghebohkan itu adalah lomba lari se-provinsi. Tapi bukan hanya
itu yang membuat semuanya tertarik untuk melihatnya, hadiahnya begitu
menggairahkan sampai rasanya ingin ngiler.
“Aku harus ikut lomba ini, hitung-hitung bisa bantu
masalah ekonomi ibu” pikir Widya dalam hati.
Tiba-tiba datanglah Dito dengan angkuhnya yang
membuyarkan kosentrasi Widya. Widya masih merasa kesal dengan kejadian yang
dialaminya kemarin. Rasanya dia ingin mencabik-cabik muka orang yang sombong
itu supaya dia lebih puas.
“Lomba lari, ya? Kamu tidak akan mudah untuk ikut lomba
ini. Karena kamu harus mengalahkanku supaya ikut lomba ini. Setiap sekolah
hanya dikirim satu perwakilan dan itu adalah aku.”
“Eh, kamu pikir kamu siapa? Seenaknya saja bicara begitu.
Aku akan mengalahkanmu dalam lomba ini.”
“Jangan besar mulut saja, Buktikan dong! Begini saja
kita taruhan, siapa yang bisa menang dan berhasil ikut dalam lomba ini boleh
menjadikan yang kalah sebagai babunya dalam seminggu. Bagaimana, berani?”
“Oke siapa takut!” kata Widya dengan muka yang sangat
meyakinkan.
Keduanya pun bersalaman yang menandakan saling
menyepakati kesepakatan mereka. Para siswa lain dijadikan sebagai saksi agar
keduanya tidak saling mengingkari janjinya. Keduanya pun berpisah dengan
tatapan mata yang tajam.
***
Widya menarik nafas panjang dan mengambil ancang-ancang.
Dalam sekejap Widya berlari melintasi bukit yang ada di belakang desa. Dia
berlari melintas dengan cepat menerobos angin. Rambut kepangnya yang terurai
panjang berterbangan dan berayun layaknya ekor kuda. Dari kejauhan dilihat
sosok yang sangat dia kenal. Sosok tersebut adalah Dito, saingan terberatnya. Widya
pun menghentikan langkahnya saat mencapai saingannya itu. Tatapan Widya begitu
tajam dan mengerikan seakan-akan ingin membunuh Dito.
“Mau apa kamu disini? Mau menggangu aku latihan, ya?”
“Enak saja. Bukannya kamu yang sengaja ikut – ikutan aku!”
“Ih, kamu menyebalkan sekali. Tempat ini adalah tempat
rahasiaku untuk latihan. Kamu yang ikut-ikutan aku!” balas Widya dengan tatapan
yang tajam.
“Memang tempat ini punya orang tuamu, hah! Tempat ini
adalah tempat umum. Semua orang berhak ke sini. Dan yang datang ke sini duluan
adalah aku.”
“Ya sudah kita tentukan saja dengan lomba lari. Siapa
yang bisa mencapai ujung jalan di sebelah sana, maka dia pemenangnya dan berhak
latihan di tempat ini,” tantang Widya sambil menunjuk jalan yang jauh dihadapan
mereka.
“Oke siapa takut,” sahut Dito dengan muka yang sombong.
Mereka berdua pun mengambil ancang – ancang dan siap
untuk berlari. Dalam hitungan ketiga merekapun berlari dengan kencang tak kalah
dari seekor kuda. Keduanya berlari dengan kecepatan dan posisi yang sama.
Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Sekali – kali mereka saling pandang dan
menatap dengan mata yang sangat tajam.
Tiba – tiba Widya tersandung batu dan kehilangan
keseimbangan. Tapi, Widya masih bisa menguasai dirinya dan menghentikan
langkahnya. Dito pun berlari meninggalkan Widya di belakang. Dito pun berbalik
dan berlari mundur dengan pandangan yang mengejek.
Tiba – tiba dari kejauhan muncul sebuah mobil yang
melintas sangat cepat. Widya pun kaget dan berusaha mengingatkan Dito. Dengan
sekuat tenaga Widya berlari untuk menolong Dito. Semua rasa sakit yang dirasakannya
sudah tidak dipedulikannya lagi. Tubuhnya terasa tergerak sendiri seperti
dikendalikan orang lain. Akhirnya, Widya berhasil mendorong tubuh Dito sebelum
mobil tersebut berhasil menabraknya. Widya jatuh tersungkur di jalan dan tidak
bisa bangkit kembali. Mobil tersebut mencoba untuk mengerem. Tapi semuanya
terlambat, kaki Widya tertabrak dan mengalami luka yang cukup parah.
Dito pun sadar melihat saingannya tersebut yang sudah
tergeletak parah di depannya. Matanya tidak bisa mempercayai semua ini. Kenapa
perempuan tersebut masih sempat menolongnya meskipun selama ini dia sudah jahat
padanya.
Jiwa Widya masih bisa diselamatkan, hanya kakinya saja
yang mengalami luka yang cukup parah. Diapun diangkat ke rumah sakit
menggunakan mobil yang menabraknya. Ternyata, mobil yang menabraknya tak lain
dari mobil kedua orang tua sahabat dekatnya, Adnan.
Matahari pun terbenam diselingi dengan kesedihan yang
menusuk hati. Dito memegang hangat penyelamat hidupnya. Dia berulang kali
menyesali apa yang di perbuatnya. Hujan deras pun turun seakan-akan ikut
menangisi kejadian yang menimpa Widya. Dari kejadian tersebut keteguhan hati Dito
pun muncul untuk selalu menjaga Widya agar kejadian ini tak terulang lagi.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, Widya pun sadar.
Dilihatnya Dito yang tertidur pulas sambil menungguinya di kursi besuk. Sudah
dua hari, Dito membesuk Widya dan berharap agar dia segera sadar. Widya pun
memegang tangan Dito dengan hangat. Tanpa sengaja, Dito pun sadar dan perlahan
membuka matanya. Widya pun kaget dan langsung menarik tangannya dari genggaman Dito.
“Widya, akhirnya kau sadar!” kata Dito dengan senang dan
langsung memeluk Widya dengan hangat dan seraya berkata, “Syukurlah kau masih
bisa terselamatkan, Aku sangat mengkhawatirkanmu.”
Widya pun kaget, baru kali ini dia melihat Dito berbicara
dengan lembut padanya. Dia pun dengan bingung berkata, “Sebenarnya ada apa ini?
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak bisa merasakan kakiku?” Widya pun
menyadari kakinya yang tidak bisa digerakkan lagi.
Dito pun melepaskan pelukannya. Raut mukanya pun berubah
menjadi kusut dan penuh penyesalan. Begitu berat rasanya bagi Dito untuk
mengucapkanya, tapi Widya berhak tahu bahwa dia lumpuh dan tak bisa berjalan
kembali.
Widya pun berusaha menahan tangisnya. Dia tidak percaya
dengan apa yang dia dengar tentang kakinya. Dito pun berusaha menenangkannya
dan memeluknya dengan hangat. Dito merasa sangat bersalah kepada Widya. Berjuta-juta
penyesalan datang menghampirinya. Air matanya pun ikut mengalir jatuh ke tubuh Widya.
“Aku berjanji, Wid. Suatu saat aku akan membahagiakan
kamu. Aku tidak akan melupakan jasamu yang sudah menyelamatkan nyawaku. Akan kulakukan
apapun agar kau bisa bahagia,” janji Dito sambil mengusap air mata Widya yang
jatuh bercucuran.
Tanpa diduga Adnan
melihat semuanya dari balik pintu. Dia pun mengurungkan niatnya untuk menjenguk
Widya dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Melihat semua itu dada Adnan pun
terasa tertusuk pedang. Dia tak sanggup melihat semua itu. Diam-diam selama ini
Adnan menyukai Widya, tapi dia tak berani mengungkapkannya.
Widya menyadari
kedatangan Adnan. Tapi, entah kenapa Widya tak mau melepaskan pelukannya dari Dito.
Ia sangat merasa nyaman dan lebih tenang. Perlahan-lahan Widya pun merasa
memiliki perasaan suka kepada Dito. Meskipun begitu, ia mencoba menghilangkan
perasaannya itu. Ditariknya tubuhnya dari pelukan Dito. Widya pun salah tingkah
dan hanya tertunduk tak berani menatap Dito.
“Terima kasih, Dit.
Maaf sudah menyusahkanmu. Sekarang aku mau istirahat. Bisakah kau tinggalkan
aku sendiri. Aku ingin menenangkan pikiran,” kata Widya dengan lembut.
“Baiklah, kalau kau
perlu apapun jangan sungkan hubungi aku. Aku permisi dulu,” kata Dito lebih
sopan.
Dito pun pergi
meninggalkan ruangan tersebut meninggalkan Widya terbaring di tempat tidur.
Sebelum ia menutup pintu, ia tak lupa memberikan senyuman hangat untuk Widya. Widya
hanya bisa membalas semuanya dengan senyuman. Meskipun hal itu tak
diinginkannya. Hatinya terasa teriris melihat semua kenyataan ini. Ia berharap
semua ini hanyalah mimpi belaka dan bisa segera bangun dari mimpi buruk ini.
***
Widya terbangun
dari tidurnya dan membuka perlahan matanya. Tapi tak seperti yang dia harapkan,
kakinya yang lumpuh masih tetap tidak bisa dirasakannya. Dia pun menarik nafas
panjang agar bisa merasa lebih baik. Tapi semuanya percuma, dia merasa semakin
sedih dan terlarut dalam kesedihan. Matanya pun mulai berkaca-kaca dan siap
meneteskan air matanya. Tapi, Dia pun menahan diri dan mencoba untuk tegar
hadapi semua ini.
“Kenapa semua ini
harus terjadi padaku,” gumamnya dalam hati.
“Hey Wid! Kenapa
kamu melamun? Masih sedih memikirkan kakimu, ya?” terdengar suara yang tidak
asing dikenal oleh Widya yang menghentikannya dari lamunannya.
“Eh, Adnan. Seperti
biasanya kamu selalu mengagetkanku.”
“Kamu sekarang
pasti sedih sekali, ya. Sekarang kamu tidak bisa berlari lagi. Padahal itu
impianmu sejak kecil,” Adnan tertunduk lesu dan mulai menampakkan raut muka
yang menyedihkan.
“Eh, kenapa kamu
ikut-ikutan sedih. Kamu seperti tidak tahu aku saja. Aku ini si rumput liar
yang akan selalu tegak berdiri meskipun banyak halangan yang menimpaku. Itulah
sebabnya namaku Widya, yang diambil dari kata Weed yang berarti rumput liar.”
“Bagus, begitu
dong. Itu baru namanya Widya yang kukenal yang selalu tegar dalam menghadapi
apapun.”
Seketika widya pun
kembali semangat dan tak pernah putus harapan. Dia yakin suatu saat Tuhan akan
memberikan jalan keluar terhadap masalah yang dia hadapi. Dalam hati Widya
berpikir jangan pernah berkata, “Ya Tuhan, Aku memiliki masalah yang luar
biasa,” Tapi berkatalah, “Hey masalah, Aku memiliki Tuhan yang luar biasa.”
***
Hamparan rumput-rumput
hijau menari-nari ditiup angin, dihiasi dengan indahnya cahaya mentari pagi
yang baru saja bangun dari tidurnya. Widya tak hentinya menatap pemandangan
indah itu. Dito membawanya jalan-jalan di pagi hari setelah beberapa hari Widya
keluar dari rumah sakit. Dito membawanya ke perbukitan di belakang desa tempat
mereka terakhir kali berlatih bersama, lebih tepatnya bersaing dalam lomba lari.
Widya pun kembali
ingat dengan lomba lari yang pernah dia ingin ikuti, “Hey, bagaimana dengan
lomba larinya, apa sebentar lagi?”
“Kamu tenang saja.
Aku dikirim sebagai utusan dari sekolah kita. Aku akan memenangkan perlombaan
itu demi kamu.”
“Buat apa kamu
capek-capek lari cuma untuk aku, bukannya tidak ada untungnya juga untukmu.”
“Meskipun selama
ini aku tidak terlalu baik dengan kamu, aku masih memiliki perasaan dan masih
tahu balas budi. Aku tidak pernah lupa denganmu yang segenap raga menyelamatkan
hidupku. Hanya ini yang bisa kulakukan. Meskipun yang kulakukan ini tidak
setimpal dengan apa yang telah kau lakukan.”
Widya percaya
dengan kata-kata Dito. Entah dia harus merasa senang atau merasa kecewa dengan Dito.
Widya menyadari selama ini dia hanya baik kepadanya karena hanya kasihan
padanya. Padahal perlahan-lahan benih cinta mulai tumbuh di hatinya.
***
Hari perlombaan
lari pun akhirnya tiba. Widya dan Adnan pun ikut menonton dan memberikan
semangat kepada Dito. Satu-satu nya yang membuat Dito semangat untuk ikut lomba
ini adalah Widya. Dia sudah berlatih keras agar dia bisa memenangkan perlombaan
ini.
“Pakai ini!” Widya
melemparkan hand band
keberuntungannya.
“Terima kasih. Aku
janji akan memenangkan perlombaan ini.”
Dito pun berlari
menuju ke garis Start. Tak lupa, dia langsung memakai hand band pemberian Widya.
Dilihatnya orang-orang disekelilingnya tampak menyiapkan diri dan terlihat
sangat hebat semua. Dito tak gentar sedikitpun, dia memantapkan diri untuk memenangkan perlombaan tersebut.
Tanpa diduga, dia pun melihat sosok yang dia kenal.
Seorang wanita yang berbadan tinggi menghampirinya, “Hey, Dit. Sudah lama tidak
ketemu ya?”
“Kamu ikut perlombaan ini juga ya, Ran?” katanya sambil
terlihat gugup.
Wanita tersebut bernama Rani. Dia adalah saingan
terberatnya semenjak dia berada di SD. Dito selalu menang dalam apapun kecuali
dalam hal berlari. Selama ini Rani lah yang mengajarkan dia berlari cepat. Dito
merasa tak mungkin sanggup memenangkan perlombaan ini.
“Kita berjuang bersama ya,” Rani memberi semangat ke
Dito.
Semua peserta pun bersiap mengambil start. Dalam
hitungan ketiga semua peserta melaju melesat secepat roket. Yang memimpin
perlombaan tersebut adalah Dito dan Rani. Mereka berdua tak mau kalah dan
berada di posisi yang sama meninggalkan peserta yang lain di belakang.
Tiba-tiba Dito pun terjatuh dan kehilangan keseimbangan.
Semua penonton kaget dan menertawakannya. Dito merasa malu sekali dan tidak
sanggup memperlihatkan mukanya ke Widya. Dalam bangku penonton Widya menunukkan
muka yang sangat cemas. Setelah melihat Widya, Dito pun kembali termotivasi.
Dito pun bangkit dan kembali mengejar ketertinggalannya.
Dalam sekejap Dito hampir berhasil menjangkau Rani kembali. Tapi, dia pun
kembali terjatuh dan lututnya pun terluka. Dito berpikir kalau seandainya dia
tidak melanjutkan perlombaan ini mungkin dia tidak mendapatkan malu untuk kedua
kalinya. Dia pun menatap hand band
pemberian Widya dan teringat akan janjinya kalau dia akan menang.
Dengan semangat yang membara, Dito bangkit kembali dan
mengejar ketertinggalannya. Satu per satu peserta dilaluinya meskipun lututnya
terus mengeluarkan darah, dia pun berhasil menjangkau Rani dan mencoba untuk
menyusulnya. Tapi kakinya sudah tak sanggup lagi. Dengan menutup matanya, Dito
terus berlari sekuat tenaga sampai akhirnya dia jatuh tersungkur dan tak bisa
berdiri kembali. Dia tak sanggup lagi berdiri dan tak sanggup membuka mata melihat
kekalahannya. Padahal dia sudah sebentar lagi menjangkau garis finish. Dalam
hati Dito berharap seandainya dia bisa diberikan satu langkah saja untuk
berlari pasti dia sudah bisa mencapai garis finish.
Tak lama dari itu didengarnya tepukan tangan yang
meriah. Dito sudah mengira-ngira tepukan tersebut diberikan untuk Rani yang
telah memenangkan perlombaan tersebut. Tak tahan mendengar semua itu dia mulai
meneteskan air mata karena tidak bisa menepati janjinya kepada Widya.
“Kamu hebat, Dit!” Terdengar suara yang sangat
dikenalnya.
Dilihatnya Widya dengan kursi roda mendekatinya. Widya
pun menjulurkan tangannya ke Dito untuk membantunya berdiri.
“Selamat atas kemenanganmu. Lihatlah para penonton
menyukaimu. Akhirnya sejak sekian lama kamu akhirnya berhasil mengalahkanku”
Kata Rani sambil tertawa.
“Menang? Apa maksudmu?” kata Dito sedikit kebingungan.
“Saat kau terjatuh tadi tanganmu telah mencapai garis
finish duluan di bandingkan peserta wanita itu. Kau berhasil mengalahkannya.
Kau menang, Dit”
kata Widya dengan senang.
kata Widya dengan senang.
Dito tak percaya dengan apa yang dia dengar. Air matanya
kembali jatuh dan rasanya dia ingin langsung memeluk Widya, tiba-tiba Rani
menyerobot dan langsung memeluk Dito. Dito pun langsung kaget begitu pula
dengan Widya. Muka Widya pun langsung kusut melihat semua itu. Dia bingung apa
hubungan wanita tersebut dengan Dito. Widya tak tahan melihatnya dan meminta
Adnan untuk membawanya pergi meninggalkan Dito.
***
Widya tak henti
memikirkan wanita yang bersama Dito. Dia mencoba berhenti memikirkannya. Tapi,
bayangan mereka berdua selalu datang menghampirinya. Widya pun mulai berpikir
bahwa dia cemburu melihat mereka berdua yang begitu akrab. Widya semakin kesal
dengan semua itu. Apalagi dengan kondisinya sekarang yang cacat tak bisa
melakukan apapun.
Semangat Widya pun
bangkit karena kekesalannya pada Dito. Seharusnya dia sudah menyadari bahwa
Dito selama ini hanya kasihan padanya. Widya tak mau dikasihani, dia pun
berusaha bangkit untuk mencoba berjalan dengan kakinya. Berulang kali dia mencoba
tapi dia tak mampu untuk berdiri sedikitpun.
Tak beberapa lama
setelah itu datanglah Dito. Widya pun berpura-pura tidak menyadari kedatangan
Dito dan melanjutkan latihannya. Kedatangan Dito pun di sambut hangat oleh ibu
Widya. Ibu Widya hanya bisa geleng-geleng kepala atas sikap Widya kepada Dito.
“Wid, ada Dito
datang. Kamu tidak sadar, ya?”
“Oh ada Dito ya Bu?
Maaf Bu Widya tidak sadar karena sibuk latihan,” kata Widya sambil salah
tingkah.
“Ya sudah Ibu
tinggal dulu ya. Masih ada pekerjaan di dapur,” Ibu Widya meninggalkan mereka
sendiri dan menuju kembali ke dapur.
“Mau apa kamu ke sini,
Dit?” kata Widya berpura – pura tak terjadi apa – apa.
“Aku hanya mau
memberikanmu ini,” Dito memberikan sebuah tropi yang berkilau dan sebuah amplop
untuk Widya, “Itu adalah hasil dari lomba lari kemarin. Aku harap kamu mau
menerimanya.”
“Simpan saja, Dit.
Hadiah tersebut lebih cocok untukmu. Karena kau lah yang sudah berjuang keras
dalam perlombaan tersebut,” kata Widya menolak pemberian Dito tersebut.
“Tapi…”
Tiba-tiba, Adnan
pun datang mengunjungi Widya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Widya agar bisa
menghindari Dito, “Eh, Nan. Kemarin kau janji ingin mengajakku ke suatu tempat.
Ayo kita ke sana sebelum sore,” sahut Widya menyambut kedatangan Adnan sambil
mengedipkan matanya.
Adnan hanya mengangguk saja menyutujui rencana Widya dan
langsung membawa pergi Widya meninggalkan Dito. Dito menyadari sikap Widya yang
sengaja menghindar. Tapi Dito bingung apa yang sebenarnya salah dengannya.
Kata-kata yang akan di ucapkannya pun tak bisa di keluarkannya. Dito pun pulang
dengan lesu dan berharap punya kesempatan besok untuk mengatakannya.
***
Hari demi hari berlalu,
Widya dan Dito tidak bertemu lagi. Widya selalu mencari berbagai alasan agar
tidak bisa bertemu dengan Dito. Perlahan – lahan sekarang Widya sudah bisa
kembali berdiri, meskipun begitu Widya masih sulit untuk melangkah. Tetapi,
Widya pun merasa ada yang hilang dari hidupnya. Dia merindukan Dito yang sudah
lama menghilang dari hadapannya. Suatu saat dia ingin kembali bertemunya saat
dia sudah mampu berjalan lagi dan menunjukkan bahwa dia wanita yang kuat.
Di tengah kesibukannya
latihan, datanglah sosok yang sudah lama tidak dijumpai Widya. Sosok tersebut
adalah Rani teman masa lalunya Dito. Widya hanya terdiam memandangi Rani, tak
ada kata yang bisa di keluarkannya seolah-olah mulutnya telah di bungkam seribu
bahasa.
“Hey, Wid. Lama
sudah tidak jumpa?”
“Kamu temannya
Dito, kan? Kalau tidak salah namamu Rani. Apa yang membuatmu datang kemari,”
kata Widya menyambutnya sopan dan mempersilahkan duduk.
Rani meresponnya
hanya dengan anggukan saja. “Sebenarnya aku tidak akan lama berkunjung. Aku
hanya ingin kau selalu menjaga Dito dan membahagiakannya”
“Heh, Apa
maksudmu?” Widya kaget mendengar perkataan Rani.
“Kalian berdua
cocok. Kau tahu, semenjak dia mengenalmu dia sekarang sudah bisa menjadi lebih
baik dan lebih bisa menghargai hidup. Aku ingin Dito selalu bersikap seperti
itu dan itu hanya bisa diwujudkan jika Dito bersama denganmu.”
“Tapi, bukannya kau
adalah pacarnya Dito. Kenapa kau rela melepaskan dia begitu saja,” jawab Widya
dengan muka yang kebingungan.
“Pacar?” Rani pun
tertawa mendengar kata-kata Widya, “Dito itu bukan pacarku. Aku hanya
menganggapnya sebagai seorang adik. Dia sebenarnya menyukaimu. Setiap kali aku
bertemu dengannya, dia selalu membicarakanmu.”
Widya tak percaya
dengan apa yang dia dengar. Dalam hatinya timbul penyesalan yang sangat dalam atas
apa yang telah diperbuatnya. Widya pun bertekad untuk menemui Dito dan meminta maaf.
“Besok Dito akan
berangkat ke Amerika untuk meneruskan usaha keluarganya,” kata Rani mengejutkan
Widya.
“Apa? Besok? Tidak
ada waktu lagi. Padahal aku ingin menunjukkan aku bisa kembali berjalan walaupun
hanya satu langkah,” kata Widya tertunduk lesu.
“Kamu pasti bisa,
Berusahalah! Kau masih punya waktu jadi manfaatkanlah dengan baik. Ingat waktu
dan kesempatan tidak bisa terulang kembali. Maka dari itu pergunakanlah dengan
baik,” kata Rani berusaha membangkitkan kembali semangat Widya.
“Mana Widya yang
selama ini kukenal,” Adnan datang muncul tiba –tiba, “Tuhan memberikanmu cobaan
bukan berarti kau harus mengeluh. Justru itu harus kau jadikan tantangan agar
bisa melangkah lebih baik lagi.”
Widya pun
bersemangat karena dukungan kedua temannya. Dibalik semua kejadian yang dia
lalui, mungkin Tuhan punya rencana yang indah.
***
Sudah berjam-jam
semenjak kemarin hingga hari ini Widya berlatih. Tapi, semuanya sia-sia. Tidak
ada perubahan sedikitpun. Seiring waktu yang berjalan, akhirnya waktu keberangkatan
Dito sebentar lagi tiba. Widya menyerah
untuk menunjukan dia sudah bisa berjalan. Dia meminta Adnan dan Rani untuk
mengantarnya menuju ke bandara.
Mobil dipersiapkan
dan langsung mengambil langkah kilat menuju bandara. Sudah tidak ada banyak
waktu lagi untuk mengejar Dito. Widya berharap Tuhan masih memberikannya
kesempatan untuk bertemu Dito walaupun itu hanya untuk mengucapkan selamat
tinggal.
Sementara itu di
bandara, Dito tak bosan-bosannya melirik jam tangannya menunggu waktu
keberangkatan. Tapi, Dito merasa sangat berat melangkah meninggalkan tempat
itu. Dia berharap bisa bertemu dengan Widya kembali walaupun hanya sedetik.
Dalam sekejap mobil
yang ditumpangi Widya berhasil menuju bandara. Adnan dan Rani membantu Widya
turun, tapi dia menolak. Widya masih sanggup untuk berdiri dan dia mencoba
untuk melangkah.
“Tapi, kita udah
tidak punya waktu lagi, Wid. Sepuluh menit lagi pesawat akan berangkat,” kata
Rani berusaha membujuk Widya.
“Biarkan Widya
melakukannya, Ran. Kita masih punya waktu sepuluh menit lagi. Hanya waktu
tersebut yang bisa dimiliki oleh Widya,” kata Adnan berusaha membujuk Rani.
“Baiklah, Aku
mengerti.”
“Widya berlarilah!
berlari dengan hatimu! berlari sesuai dengan keinginanmu. Kau sangat senang
berlari, bukan. Gunakanlah perasaan itu agar kau bisa berlari.”
Widya hanya
tersenyum mendengar kata-kata Adnan. Dia pun sudah memantapkan niatnya. Dia pun
menarik nafas dan mencoba mengambil langkah pertama. Meskipun ragu-ragu tapi
dia berhasil melakukannya dengan baik. Pada langkah selanjutnya Widya mencoba
untuk tidak ragu – ragu kembali dan melangkah dengan pasti. Widya berhasil
melangkah dengan baik meskipun itu sulit.
Tanpa ragu – ragu
lagi, diambilnya langkah yang cepat untuk berlari. Tapi, dia tak berhasil dan
akhirnya terjatuh. Dengan kebulatan tekadnya, Widya kembali bangkit. Dia
menyerahkan segala perasaan dan pikirannya kepada Dito dan mulai berlari. Widya
berhasil melakukannya dan perlahan tubuhnya terasa terbawa angin. Widya kembali
berhasil berlari dan mengambil langkah secepat cahaya. Tapi tak lama dari itu,
Widya kehilangan kseimbangan dan jatuh tersungkur.
“Ini seperti saat
Dito lomba lari,” Gumamnya dalam hati, “Jika Dito mampu bangkit kembali dan
meneruskannya sampai akhir, Aku juga pasti bisa.”
Diangkatnya kembali
tubuhnya dan kembali berlari. Tapi, tetap saja Widya jatuh berkali-kali hingga
tubuhnya lecet semua. Widya tak kenal menyerah dan teru kembali berdiri. Orang-orang
di sekelilingnya yang ingin membantunya diabaikan begitu saja. Dalam pandangan
yang sedikit kabur, dilihatnya sosok yang dia kenal yang tak lain adalah Dito.
Tapi, Widya tak bisa memastikannya karena dia melihatnya dari belakang.
Widya hampir
mencapai sosok tersebut, tapi dia kembali terjatuh dan orang tersebut sudah
pergi meninggalkan tempat itu. Widya menyesali dirinya yang tak bisa melakukan
apa-apa. Andai saja dia diberi selangkah saja untuk menjangkau sosok tersebut,
dia pasti sudah bisa memanggilnya.
“Posisimu sekarang
jadi seperti diriku dulu ya, Wid,” sebuah suara mengejutkan Widya. Dilihatnya
Dito dalam posisi berdiri memandanginya sambil tertawa kecil.
“Syukurlah Dito kau
belum berangkat. Maafkan aku atas sikapku selama ini, ku mohon kau jangan
pergi,” kata Widya dengan nafas yang terengah – engah.
“Tidak bisa, Wid.
Aku harus pergi. Semenjak aku mengenalmu, kau mengajariku bagaimana sulitnya
memegang tanggung jawab yang besar. Untuk itu, aku akan memegang tanggung jawab
yang besar untuk keluargaku. Tapi tenang saja, aku janji suatu saat aku akan
kembali dan akan langsung menemuimu,” ujar Dito dengan yakin.
“Aku akan setia
menunggumu.”
Dito pun memeluk
Widya dengan hangat. Keduanya tak mau melepaskan pelukan mereka dan saling
memeluk dengan erat. Sebelum Dito melepaskan pelukannya, Dito berbisik “I LOVE
YOU.” Widya hanya kaget bercampur senang mendengar semua itu. Widya pun
membalasnya “I LOVE YOU TOO.”
“Hey, apa yang kamu
lamunkan, Wid! Cepat segera berdiri.”
Widya pun tersadar
dan sedikit kecewa. Ternyata semua yang dia lihatnya tadi hanyalah sebuah
khayalannya belaka. Dito hanya menatapnya dengan penuh kebingungan.
“Ya sudah, Wid. Aku
harus segera berangkat, nanti aku ketinggalan pesawat,” Dito pun pergi
melangkah pergi dan melambaikan tangan meninggalkan Widya.
Widya hanya melepas
kepergian Dito dengan senyuman. Di lihatnya lambaian tangan Dito dengan
seksama. Sebuah hand band melekat di
pergelangan tangannya yang tak lain pemberian Widya sendiri. Widya hanya
senyum-senyum sendiri melihat Dito yang masih saja menyimpan benda itu. Widya
sangat menginginkan mengungkapkan perasaannya kepada Dito. Tapi, Dito lebih
berharga di matanya sebagai seorang sahabat dibandingkan seorang pacar. Jadi,
dia rela melepas sahabatnya tersebut untuk menuju hidup yang lebih baik.
Widya belajar
berbagi hal tentang cinta selama mengenal Dito. Dia belajar bahwa jalan menuju
cinta itu tidak selamanya lurus. Ada tikungan yang namanya kegagalan. Bundaran
yang bernama kebingungan. Tanjakan yang bernama godaan. Lampu merah yang
bernama kejanggalan. Lampu kuning yang bernama perdebatan. Dan engkau akan mengalami
ban kempes yang bernama kecemburuan. Tetapi bila engkau memiliki ban serep
bernama kesabaran, asuransi yang bernama iman, dan pengemudi yang bernama kepercayaan,
engkau akan sampai ke tempat yang bernama "CINTA SEJATI" meskipun kau
tak bisa memilikinya.
Dibalik kata-kata cinta, tidak semua
akan bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita. karena indahnya cinta tak
semanis namanya. Tapi indahnya persahabatan sungguh tak ternilai harganya, tak
akan ada yang bisa menggantikan seorang sahabat meskipun pacar sekalipun. Teman
adalah sandaran perasaan, Sahabat adalah penopang keistiqomahan, dan teman
sejati adalah amalan.
0 komentar:
Posting Komentar