Selasa, 11 Desember 2012

Cerpen - Berikan Selangkah Saja

Pagi yang cerah diterangi dengan mentari yang bersinar terang yang sedikit ditutupi oleh awan diiringi oleh angin sepoi – sepoi yang membuat suasana sejuk di hati. Di suasana yang cerah itu, tampak seorang perempuan dengan rambut kepangnya sedang asyik dengan selimutnya.
“Widya! Ayo bangun, sayang! Kamu ingin terlambat lagi?” suara itu berulang kali didengarnya sehingga membuatnya bosan sendiri.
Dengan terpaksa, Widya pun beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ke kamar mandi dengan perasaan yang kesal. Tapi dengan cepat dibuangnya rasa kesalnya itu dan bergegas menuju kamar mandi.
Tak sampai lima menit, Widya sudah siap berangkat dengan pakaian yang rapi dengan dihiasi rambut kepangnya yang khas. Widya memang berbeda dengan perempuan yang lain. Biasanya, perempuan zaman sekarang lebih mementingkan penampilannya bahkan harus menghabiskan waktu yang lama untuk mandi. Tapi Widya berbeda, dia tidak peduli dengan kecantikannya dan lebih mementingkan kekuatannya agar bisa melindungi dirinya dan bisa membantu orang tuanya mendapatkan penghasilan yang baik.
Dengan cepat Widya melangkah ke ruang makan dan langsung menyomot makanan yang ada dan langsung dengan cepat pergi agar tidak terlambat. Baru selangkah Widya meninggalkan rumahnya, Widya teringat dengan ibunya. Dengan secepat kilat, Widya menjabat tangan ibunya dan melanjutkan langkahnya ke sekolah.
“Aduh, aku bisa terlambat kalau begini. Aku harus bisa lari lebih cepat sebelum gerbang ditutup,” katanya sambil seraya melirik jam.
Widya termasuk perempuan yang larinya cukup cepat. Dari dulu memang Widya bercita – cita untuk menjadi atlet pelari yang handal. Dia sering sekali berlatih untuk berlari sehingga membuatnya bisa berlari begitu cepat dibandingkan perempuan yang lain bahkan mampu mengalahkan laki – laki sekalipun.
Tak lama dari itu, Widya sudah sampai ke depan gerbang sekolah. Dengan nafas yang terengah-engah dan perasaan yang sedikit lega, Widya akhirnya bisa masuk ke sekolah tanpa terlambat sedikitpun.
“Hei , Wid! Tumben tidak terlambat hari ini,” suara pria terdengar dari belakang Widya yang mengagetkannya.
“Aduh, Adnan! Bikin jantungku mau copot saja kamu ini! Untung aku tidak jantungan, kalau tidak kamu pasti sudah kehilangan sahabatmu yang paling baik ini.”
“Huh, Siapa juga yang mengagetkanmu. Aku cuma menyapa kamu saja.”
“Sudahlah hentikan! Aku malas ribut dengan kamu hari ini,” kata Widya seraya menunjukan mukanya yang cemberut.
“Aduh, jangan marah dong. Istirahat nanti aku traktir bakso deh!”
Seketika wajah Widya yang tadinya cemberut berubah cerah seperti layaknya mentari pagi pada hari ini. Adnan memang paling pandai menghibur hati Widya. Setiap Widya merasa sedih, dia selalu ada untuk menghibur Widya.
Mereka berdua pun bergegas menuju ke kelas mereka masing-masing. Tanpa disengaja Widya menabrak salah seorang cowok yang berjalan di depannya. Dia kehilangan keseimbangannya dan hampir saja terjatuh. Tapi, dengan cepat cowok yang ditabraknya tadi menangkapnya. Suasana hening meliputi mereka. Mereka berdua pun terdiam dan saling menatap mata dengan dalam. Tak beberapa lama kemudian cowok itu sadar dan langsung melepaskan tubuh Widya, sehingga Widya pun jatuh tersungkur.
“Aduh, apa maksudnya ini!”
“Salah kamu sendiri! kenapa juga sampai menabrak segala!”
“Eh sudah… sudah! Kalian jangan berkelahi disini, nanti dilihat oleh guru loh.”
Cowok tersebut bernama Dito. Dia adalah musuh bebuyutan Widya. Setiap kali mereka bertemu selalu saja berkelahi layaknya kucing dan anjing. Dito juga termasuk cowok yang memiliki kemampuan berlari yang cukup cepat dan merupakan saingan terberat Widya, karena itu Widya tidak pernah mau kalah dari Dito.
Seketika mereka berdua pun berhenti berkelahi. Tapi sorot mata mereka tidak berhenti bergulat saling menatap. Mereka berdua saling menatap dengan mata yang penuh kebencian. Kilatan petir seolah-olah muncul menghubungkan mata mereka yang menandakan tak ada satu pun yang mau mengalah. Keduanya pun berpisah dengan perasaan dongkol di dalam hati.

***

Pagi ini tidak seperti biasanya para siswa berkumpul di depan mading sekolah. Sepertinya ada sesuatu yang menghebohkan disana. Widya tak mau kalah, dia berusaha menerobos diantara para siswa yang lain. Ternyata berita yang menghebohkan itu adalah lomba lari se-provinsi. Tapi bukan hanya itu yang membuat semuanya tertarik untuk melihatnya, hadiahnya begitu menggairahkan sampai rasanya ingin ngiler.
“Aku harus ikut lomba ini, hitung-hitung bisa bantu masalah ekonomi ibu” pikir Widya dalam hati.
Tiba-tiba datanglah Dito dengan angkuhnya yang membuyarkan kosentrasi Widya. Widya masih merasa kesal dengan kejadian yang dialaminya kemarin. Rasanya dia ingin mencabik-cabik muka orang yang sombong itu supaya dia lebih puas.
“Lomba lari, ya? Kamu tidak akan mudah untuk ikut lomba ini. Karena kamu harus mengalahkanku supaya ikut lomba ini. Setiap sekolah hanya dikirim satu perwakilan dan itu adalah aku.”
“Eh, kamu pikir kamu siapa? Seenaknya saja bicara begitu. Aku akan mengalahkanmu dalam lomba ini.”
“Jangan besar mulut saja, Buktikan dong! Begini saja kita taruhan, siapa yang bisa menang dan berhasil ikut dalam lomba ini boleh menjadikan yang kalah sebagai babunya dalam seminggu. Bagaimana, berani?”
“Oke siapa takut!” kata Widya dengan muka yang sangat meyakinkan.
Keduanya pun bersalaman yang menandakan saling menyepakati kesepakatan mereka. Para siswa lain dijadikan sebagai saksi agar keduanya tidak saling mengingkari janjinya. Keduanya pun berpisah dengan tatapan mata yang tajam.

***

Widya menarik nafas panjang dan mengambil ancang-ancang. Dalam sekejap Widya berlari melintasi bukit yang ada di belakang desa. Dia berlari melintas dengan cepat menerobos angin. Rambut kepangnya yang terurai panjang berterbangan dan berayun layaknya ekor kuda. Dari kejauhan dilihat sosok yang sangat dia kenal. Sosok tersebut adalah Dito, saingan terberatnya. Widya pun menghentikan langkahnya saat mencapai saingannya itu. Tatapan Widya begitu tajam dan mengerikan seakan-akan ingin membunuh Dito.
“Mau apa kamu disini? Mau menggangu aku latihan, ya?”
“Enak saja. Bukannya kamu yang sengaja ikut – ikutan aku!”
“Ih, kamu menyebalkan sekali. Tempat ini adalah tempat rahasiaku untuk latihan. Kamu yang ikut-ikutan aku!” balas Widya dengan tatapan yang tajam.
“Memang tempat ini punya orang tuamu, hah! Tempat ini adalah tempat umum. Semua orang berhak ke sini. Dan yang datang ke sini duluan adalah aku.”
“Ya sudah kita tentukan saja dengan lomba lari. Siapa yang bisa mencapai ujung jalan di sebelah sana, maka dia pemenangnya dan berhak latihan di tempat ini,” tantang Widya sambil menunjuk jalan yang jauh dihadapan mereka.
“Oke siapa takut,” sahut Dito dengan muka yang sombong.
Mereka berdua pun mengambil ancang – ancang dan siap untuk berlari. Dalam hitungan ketiga merekapun berlari dengan kencang tak kalah dari seekor kuda. Keduanya berlari dengan kecepatan dan posisi yang sama. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Sekali – kali mereka saling pandang dan menatap dengan mata yang sangat tajam.
Tiba – tiba Widya tersandung batu dan kehilangan keseimbangan. Tapi, Widya masih bisa menguasai dirinya dan menghentikan langkahnya. Dito pun berlari meninggalkan Widya di belakang. Dito pun berbalik dan berlari mundur dengan pandangan yang mengejek.
Tiba – tiba dari kejauhan muncul sebuah mobil yang melintas sangat cepat. Widya pun kaget dan berusaha mengingatkan Dito. Dengan sekuat tenaga Widya berlari untuk menolong Dito. Semua rasa sakit yang dirasakannya sudah tidak dipedulikannya lagi. Tubuhnya terasa tergerak sendiri seperti dikendalikan orang lain. Akhirnya, Widya berhasil mendorong tubuh Dito sebelum mobil tersebut berhasil menabraknya. Widya jatuh tersungkur di jalan dan tidak bisa bangkit kembali. Mobil tersebut mencoba untuk mengerem. Tapi semuanya terlambat, kaki Widya tertabrak dan mengalami luka yang cukup parah.
Dito pun sadar melihat saingannya tersebut yang sudah tergeletak parah di depannya. Matanya tidak bisa mempercayai semua ini. Kenapa perempuan tersebut masih sempat menolongnya meskipun selama ini dia sudah jahat padanya.
Jiwa Widya masih bisa diselamatkan, hanya kakinya saja yang mengalami luka yang cukup parah. Diapun diangkat ke rumah sakit menggunakan mobil yang menabraknya. Ternyata, mobil yang menabraknya tak lain dari mobil kedua orang tua sahabat dekatnya, Adnan.
Matahari pun terbenam diselingi dengan kesedihan yang menusuk hati. Dito memegang hangat penyelamat hidupnya. Dia berulang kali menyesali apa yang di perbuatnya. Hujan deras pun turun seakan-akan ikut menangisi kejadian yang menimpa Widya. Dari kejadian tersebut keteguhan hati Dito pun muncul untuk selalu menjaga Widya agar kejadian ini tak terulang lagi.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, Widya pun sadar. Dilihatnya Dito yang tertidur pulas sambil menungguinya di kursi besuk. Sudah dua hari, Dito membesuk Widya dan berharap agar dia segera sadar. Widya pun memegang tangan Dito dengan hangat. Tanpa sengaja, Dito pun sadar dan perlahan membuka matanya. Widya pun kaget dan langsung menarik tangannya dari genggaman Dito.
“Widya, akhirnya kau sadar!” kata Dito dengan senang dan langsung memeluk Widya dengan hangat dan seraya berkata, “Syukurlah kau masih bisa terselamatkan, Aku sangat mengkhawatirkanmu.”
Widya pun kaget, baru kali ini dia melihat Dito berbicara dengan lembut padanya. Dia pun dengan bingung berkata, “Sebenarnya ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak bisa merasakan kakiku?” Widya pun menyadari kakinya yang tidak bisa digerakkan lagi.
Dito pun melepaskan pelukannya. Raut mukanya pun berubah menjadi kusut dan penuh penyesalan. Begitu berat rasanya bagi Dito untuk mengucapkanya, tapi Widya berhak tahu bahwa dia lumpuh dan tak bisa berjalan kembali.
Widya pun berusaha menahan tangisnya. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar tentang kakinya. Dito pun berusaha menenangkannya dan memeluknya dengan hangat. Dito merasa sangat bersalah kepada Widya. Berjuta-juta penyesalan datang menghampirinya. Air matanya pun ikut mengalir jatuh ke tubuh Widya.
“Aku berjanji, Wid. Suatu saat aku akan membahagiakan kamu. Aku tidak akan melupakan jasamu yang sudah menyelamatkan nyawaku. Akan kulakukan apapun agar kau bisa bahagia,” janji Dito sambil mengusap air mata Widya yang jatuh bercucuran.
            Tanpa diduga Adnan melihat semuanya dari balik pintu. Dia pun mengurungkan niatnya untuk menjenguk Widya dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Melihat semua itu dada Adnan pun terasa tertusuk pedang. Dia tak sanggup melihat semua itu. Diam-diam selama ini Adnan menyukai Widya, tapi dia tak berani mengungkapkannya.
            Widya menyadari kedatangan Adnan. Tapi, entah kenapa Widya tak mau melepaskan pelukannya dari Dito. Ia sangat merasa nyaman dan lebih tenang. Perlahan-lahan Widya pun merasa memiliki perasaan suka kepada Dito. Meskipun begitu, ia mencoba menghilangkan perasaannya itu. Ditariknya tubuhnya dari pelukan Dito. Widya pun salah tingkah dan hanya tertunduk tak berani menatap Dito.
            “Terima kasih, Dit. Maaf sudah menyusahkanmu. Sekarang aku mau istirahat. Bisakah kau tinggalkan aku sendiri. Aku ingin menenangkan pikiran,” kata Widya dengan lembut.
            “Baiklah, kalau kau perlu apapun jangan sungkan hubungi aku. Aku permisi dulu,” kata Dito lebih sopan.
            Dito pun pergi meninggalkan ruangan tersebut meninggalkan Widya terbaring di tempat tidur. Sebelum ia menutup pintu, ia tak lupa memberikan senyuman hangat untuk Widya. Widya hanya bisa membalas semuanya dengan senyuman. Meskipun hal itu tak diinginkannya. Hatinya terasa teriris melihat semua kenyataan ini. Ia berharap semua ini hanyalah mimpi belaka dan bisa segera bangun dari mimpi buruk ini.

***

            Widya terbangun dari tidurnya dan membuka perlahan matanya. Tapi tak seperti yang dia harapkan, kakinya yang lumpuh masih tetap tidak bisa dirasakannya. Dia pun menarik nafas panjang agar bisa merasa lebih baik. Tapi semuanya percuma, dia merasa semakin sedih dan terlarut dalam kesedihan. Matanya pun mulai berkaca-kaca dan siap meneteskan air matanya. Tapi, Dia pun menahan diri dan mencoba untuk tegar hadapi semua ini.
            “Kenapa semua ini harus terjadi padaku,” gumamnya dalam hati.
            “Hey Wid! Kenapa kamu melamun? Masih sedih memikirkan kakimu, ya?” terdengar suara yang tidak asing dikenal oleh Widya yang menghentikannya dari lamunannya.
            “Eh, Adnan. Seperti biasanya kamu selalu mengagetkanku.”
            “Kamu sekarang pasti sedih sekali, ya. Sekarang kamu tidak bisa berlari lagi. Padahal itu impianmu sejak kecil,” Adnan tertunduk lesu dan mulai menampakkan raut muka yang menyedihkan.
            “Eh, kenapa kamu ikut-ikutan sedih. Kamu seperti tidak tahu aku saja. Aku ini si rumput liar yang akan selalu tegak berdiri meskipun banyak halangan yang menimpaku. Itulah sebabnya namaku Widya, yang diambil dari kata Weed yang berarti rumput liar.”
            “Bagus, begitu dong. Itu baru namanya Widya yang kukenal yang selalu tegar dalam menghadapi apapun.”
            Seketika widya pun kembali semangat dan tak pernah putus harapan. Dia yakin suatu saat Tuhan akan memberikan jalan keluar terhadap masalah yang dia hadapi. Dalam hati Widya berpikir jangan pernah berkata, “Ya Tuhan, Aku memiliki masalah yang luar biasa,” Tapi berkatalah, “Hey masalah, Aku memiliki Tuhan yang luar biasa.”

***

            Hamparan rumput-rumput hijau menari-nari ditiup angin, dihiasi dengan indahnya cahaya mentari pagi yang baru saja bangun dari tidurnya. Widya tak hentinya menatap pemandangan indah itu. Dito membawanya jalan-jalan di pagi hari setelah beberapa hari Widya keluar dari rumah sakit. Dito membawanya ke perbukitan di belakang desa tempat mereka terakhir kali berlatih bersama, lebih tepatnya bersaing dalam lomba lari.
            Widya pun kembali ingat dengan lomba lari yang pernah dia ingin ikuti, “Hey, bagaimana dengan lomba larinya, apa sebentar lagi?”
            “Kamu tenang saja. Aku dikirim sebagai utusan dari sekolah kita. Aku akan memenangkan perlombaan itu demi kamu.”
            “Buat apa kamu capek-capek lari cuma untuk aku, bukannya tidak ada untungnya juga untukmu.”
            “Meskipun selama ini aku tidak terlalu baik dengan kamu, aku masih memiliki perasaan dan masih tahu balas budi. Aku tidak pernah lupa denganmu yang segenap raga menyelamatkan hidupku. Hanya ini yang bisa kulakukan. Meskipun yang kulakukan ini tidak setimpal dengan apa yang telah kau lakukan.”
            Widya percaya dengan kata-kata Dito. Entah dia harus merasa senang atau merasa kecewa dengan Dito. Widya menyadari selama ini dia hanya baik kepadanya karena hanya kasihan padanya. Padahal perlahan-lahan benih cinta mulai tumbuh di hatinya.

***

            Hari perlombaan lari pun akhirnya tiba. Widya dan Adnan pun ikut menonton dan memberikan semangat kepada Dito. Satu-satu nya yang membuat Dito semangat untuk ikut lomba ini adalah Widya. Dia sudah berlatih keras agar dia bisa memenangkan perlombaan ini.
            “Pakai ini!” Widya melemparkan hand band keberuntungannya.
            “Terima kasih. Aku janji akan memenangkan perlombaan ini.”
            Dito pun berlari menuju ke garis Start. Tak lupa, dia langsung memakai hand  band pemberian Widya. Dilihatnya orang-orang disekelilingnya tampak menyiapkan diri dan terlihat sangat hebat semua. Dito tak gentar sedikitpun, dia memantapkan  diri untuk memenangkan perlombaan tersebut.
Tanpa diduga, dia pun melihat sosok yang dia kenal. Seorang wanita yang berbadan tinggi menghampirinya, “Hey, Dit. Sudah lama tidak ketemu ya?”
“Kamu ikut perlombaan ini juga ya, Ran?” katanya sambil terlihat gugup.
Wanita tersebut bernama Rani. Dia adalah saingan terberatnya semenjak dia berada di SD. Dito selalu menang dalam apapun kecuali dalam hal berlari. Selama ini Rani lah yang mengajarkan dia berlari cepat. Dito merasa tak mungkin sanggup memenangkan perlombaan ini.
“Kita berjuang bersama ya,” Rani memberi semangat ke Dito.
Semua peserta pun bersiap mengambil start. Dalam hitungan ketiga semua peserta melaju melesat secepat roket. Yang memimpin perlombaan tersebut adalah Dito dan Rani. Mereka berdua tak mau kalah dan berada di posisi yang sama meninggalkan peserta yang lain di belakang.
Tiba-tiba Dito pun terjatuh dan kehilangan keseimbangan. Semua penonton kaget dan menertawakannya. Dito merasa malu sekali dan tidak sanggup memperlihatkan mukanya ke Widya. Dalam bangku penonton Widya menunukkan muka yang sangat cemas. Setelah melihat Widya, Dito pun kembali termotivasi.
Dito pun bangkit dan kembali mengejar ketertinggalannya. Dalam sekejap Dito hampir berhasil menjangkau Rani kembali. Tapi, dia pun kembali terjatuh dan lututnya pun terluka. Dito berpikir kalau seandainya dia tidak melanjutkan perlombaan ini mungkin dia tidak mendapatkan malu untuk kedua kalinya. Dia pun menatap hand band pemberian Widya dan teringat akan janjinya kalau dia akan menang.
Dengan semangat yang membara, Dito bangkit kembali dan mengejar ketertinggalannya. Satu per satu peserta dilaluinya meskipun lututnya terus mengeluarkan darah, dia pun berhasil menjangkau Rani dan mencoba untuk menyusulnya. Tapi kakinya sudah tak sanggup lagi. Dengan menutup matanya, Dito terus berlari sekuat tenaga sampai akhirnya dia jatuh tersungkur dan tak bisa berdiri kembali. Dia tak sanggup lagi berdiri dan tak sanggup membuka mata melihat kekalahannya. Padahal dia sudah sebentar lagi menjangkau garis finish. Dalam hati Dito berharap seandainya dia bisa diberikan satu langkah saja untuk berlari pasti dia sudah bisa mencapai garis finish.
Tak lama dari itu didengarnya tepukan tangan yang meriah. Dito sudah mengira-ngira tepukan tersebut diberikan untuk Rani yang telah memenangkan perlombaan tersebut. Tak tahan mendengar semua itu dia mulai meneteskan air mata karena tidak bisa menepati janjinya kepada Widya.
“Kamu hebat, Dit!” Terdengar suara yang sangat dikenalnya.
Dilihatnya Widya dengan kursi roda mendekatinya. Widya pun menjulurkan tangannya ke Dito untuk membantunya berdiri.
“Selamat atas kemenanganmu. Lihatlah para penonton menyukaimu. Akhirnya sejak sekian lama kamu akhirnya berhasil mengalahkanku” Kata Rani sambil tertawa.
“Menang? Apa maksudmu?” kata Dito sedikit kebingungan.
“Saat kau terjatuh tadi tanganmu telah mencapai garis finish duluan di bandingkan peserta wanita itu. Kau berhasil mengalahkannya. Kau menang, Dit”
kata Widya dengan senang.
Dito tak percaya dengan apa yang dia dengar. Air matanya kembali jatuh dan rasanya dia ingin langsung memeluk Widya, tiba-tiba Rani menyerobot dan langsung memeluk Dito. Dito pun langsung kaget begitu pula dengan Widya. Muka Widya pun langsung kusut melihat semua itu. Dia bingung apa hubungan wanita tersebut dengan Dito. Widya tak tahan melihatnya dan meminta Adnan untuk membawanya pergi meninggalkan Dito.

***

            Widya tak henti memikirkan wanita yang bersama Dito. Dia mencoba berhenti memikirkannya. Tapi, bayangan mereka berdua selalu datang menghampirinya. Widya pun mulai berpikir bahwa dia cemburu melihat mereka berdua yang begitu akrab. Widya semakin kesal dengan semua itu. Apalagi dengan kondisinya sekarang yang cacat tak bisa melakukan apapun.
            Semangat Widya pun bangkit karena kekesalannya pada Dito. Seharusnya dia sudah menyadari bahwa Dito selama ini hanya kasihan padanya. Widya tak mau dikasihani, dia pun berusaha bangkit untuk mencoba berjalan dengan kakinya. Berulang kali dia mencoba tapi dia tak mampu untuk berdiri sedikitpun.
            Tak beberapa lama setelah itu datanglah Dito. Widya pun berpura-pura tidak menyadari kedatangan Dito dan melanjutkan latihannya. Kedatangan Dito pun di sambut hangat oleh ibu Widya. Ibu Widya hanya bisa geleng-geleng kepala atas sikap Widya kepada Dito.
            “Wid, ada Dito datang. Kamu tidak sadar, ya?”
            “Oh ada Dito ya Bu? Maaf Bu Widya tidak sadar karena sibuk latihan,” kata Widya sambil salah tingkah.
            “Ya sudah Ibu tinggal dulu ya. Masih ada pekerjaan di dapur,” Ibu Widya meninggalkan mereka sendiri dan menuju kembali ke dapur.
            “Mau apa kamu ke sini, Dit?” kata Widya berpura – pura tak terjadi apa – apa.
            “Aku hanya mau memberikanmu ini,” Dito memberikan sebuah tropi yang berkilau dan sebuah amplop untuk Widya, “Itu adalah hasil dari lomba lari kemarin. Aku harap kamu mau menerimanya.”
            “Simpan saja, Dit. Hadiah tersebut lebih cocok untukmu. Karena kau lah yang sudah berjuang keras dalam perlombaan tersebut,” kata Widya menolak pemberian Dito tersebut.
            “Tapi…”
            Tiba-tiba, Adnan pun datang mengunjungi Widya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Widya agar bisa menghindari Dito, “Eh, Nan. Kemarin kau janji ingin mengajakku ke suatu tempat. Ayo kita ke sana sebelum sore,” sahut Widya menyambut kedatangan Adnan sambil mengedipkan matanya.
Adnan hanya mengangguk saja menyutujui rencana Widya dan langsung membawa pergi Widya meninggalkan Dito. Dito menyadari sikap Widya yang sengaja menghindar. Tapi Dito bingung apa yang sebenarnya salah dengannya. Kata-kata yang akan di ucapkannya pun tak bisa di keluarkannya. Dito pun pulang dengan lesu dan berharap punya kesempatan besok untuk mengatakannya.

***

            Hari demi hari berlalu, Widya dan Dito tidak bertemu lagi. Widya selalu mencari berbagai alasan agar tidak bisa bertemu dengan Dito. Perlahan – lahan sekarang Widya sudah bisa kembali berdiri, meskipun begitu Widya masih sulit untuk melangkah. Tetapi, Widya pun merasa ada yang hilang dari hidupnya. Dia merindukan Dito yang sudah lama menghilang dari hadapannya. Suatu saat dia ingin kembali bertemunya saat dia sudah mampu berjalan lagi dan menunjukkan bahwa dia wanita yang kuat.
            Di tengah kesibukannya latihan, datanglah sosok yang sudah lama tidak dijumpai Widya. Sosok tersebut adalah Rani teman masa lalunya Dito. Widya hanya terdiam memandangi Rani, tak ada kata yang bisa di keluarkannya seolah-olah mulutnya telah di bungkam seribu bahasa.
            “Hey, Wid. Lama sudah tidak jumpa?”
            “Kamu temannya Dito, kan? Kalau tidak salah namamu Rani. Apa yang membuatmu datang kemari,” kata Widya menyambutnya sopan dan mempersilahkan duduk.
            Rani meresponnya hanya dengan anggukan saja. “Sebenarnya aku tidak akan lama berkunjung. Aku hanya ingin kau selalu menjaga Dito dan membahagiakannya”
            “Heh, Apa maksudmu?” Widya kaget mendengar perkataan Rani.
            “Kalian berdua cocok. Kau tahu, semenjak dia mengenalmu dia sekarang sudah bisa menjadi lebih baik dan lebih bisa menghargai hidup. Aku ingin Dito selalu bersikap seperti itu dan itu hanya bisa diwujudkan jika Dito bersama denganmu.”
            “Tapi, bukannya kau adalah pacarnya Dito. Kenapa kau rela melepaskan dia begitu saja,” jawab Widya dengan muka yang kebingungan.
            “Pacar?” Rani pun tertawa mendengar kata-kata Widya, “Dito itu bukan pacarku. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Dia sebenarnya menyukaimu. Setiap kali aku bertemu dengannya, dia selalu membicarakanmu.”
            Widya tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dalam hatinya timbul penyesalan yang sangat dalam atas apa yang telah diperbuatnya. Widya pun bertekad untuk menemui Dito dan meminta maaf.
            “Besok Dito akan berangkat ke Amerika untuk meneruskan usaha keluarganya,” kata Rani mengejutkan Widya.
            “Apa? Besok? Tidak ada waktu lagi. Padahal aku ingin menunjukkan aku bisa kembali berjalan walaupun hanya satu langkah,” kata Widya tertunduk lesu.
            “Kamu pasti bisa, Berusahalah! Kau masih punya waktu jadi manfaatkanlah dengan baik. Ingat waktu dan kesempatan tidak bisa terulang kembali. Maka dari itu pergunakanlah dengan baik,” kata Rani berusaha membangkitkan kembali semangat Widya.
            “Mana Widya yang selama ini kukenal,” Adnan datang muncul tiba –tiba, “Tuhan memberikanmu cobaan bukan berarti kau harus mengeluh. Justru itu harus kau jadikan tantangan agar bisa melangkah lebih baik lagi.”
            Widya pun bersemangat karena dukungan kedua temannya. Dibalik semua kejadian yang dia lalui, mungkin Tuhan punya rencana yang indah.

***

            Sudah berjam-jam semenjak kemarin hingga hari ini Widya berlatih. Tapi, semuanya sia-sia. Tidak ada perubahan sedikitpun. Seiring waktu yang berjalan, akhirnya waktu keberangkatan Dito sebentar lagi tiba.  Widya menyerah untuk menunjukan dia sudah bisa berjalan. Dia meminta Adnan dan Rani untuk mengantarnya menuju ke bandara.
            Mobil dipersiapkan dan langsung mengambil langkah kilat menuju bandara. Sudah tidak ada banyak waktu lagi untuk mengejar Dito. Widya berharap Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk bertemu Dito walaupun itu hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.
            Sementara itu di bandara, Dito tak bosan-bosannya melirik jam tangannya menunggu waktu keberangkatan. Tapi, Dito merasa sangat berat melangkah meninggalkan tempat itu. Dia berharap bisa bertemu dengan Widya kembali walaupun hanya sedetik.
            Dalam sekejap mobil yang ditumpangi Widya berhasil menuju bandara. Adnan dan Rani membantu Widya turun, tapi dia menolak. Widya masih sanggup untuk berdiri dan dia mencoba untuk melangkah.
            “Tapi, kita udah tidak punya waktu lagi, Wid. Sepuluh menit lagi pesawat akan berangkat,” kata Rani berusaha membujuk Widya.
            “Biarkan Widya melakukannya, Ran. Kita masih punya waktu sepuluh menit lagi. Hanya waktu tersebut yang bisa dimiliki oleh Widya,” kata Adnan berusaha membujuk Rani.
            “Baiklah, Aku mengerti.”
            “Widya berlarilah! berlari dengan hatimu! berlari sesuai dengan keinginanmu. Kau sangat senang berlari, bukan. Gunakanlah perasaan itu agar kau bisa berlari.”
            Widya hanya tersenyum mendengar kata-kata Adnan. Dia pun sudah memantapkan niatnya. Dia pun menarik nafas dan mencoba mengambil langkah pertama. Meskipun ragu-ragu tapi dia berhasil melakukannya dengan baik. Pada langkah selanjutnya Widya mencoba untuk tidak ragu – ragu kembali dan melangkah dengan pasti. Widya berhasil melangkah dengan baik meskipun itu sulit.
            Tanpa ragu – ragu lagi, diambilnya langkah yang cepat untuk berlari. Tapi, dia tak berhasil dan akhirnya terjatuh. Dengan kebulatan tekadnya, Widya kembali bangkit. Dia menyerahkan segala perasaan dan pikirannya kepada Dito dan mulai berlari. Widya berhasil melakukannya dan perlahan tubuhnya terasa terbawa angin. Widya kembali berhasil berlari dan mengambil langkah secepat cahaya. Tapi tak lama dari itu, Widya kehilangan kseimbangan dan jatuh tersungkur.
            “Ini seperti saat Dito lomba lari,” Gumamnya dalam hati, “Jika Dito mampu bangkit kembali dan meneruskannya sampai akhir, Aku juga pasti bisa.”
            Diangkatnya kembali tubuhnya dan kembali berlari. Tapi, tetap saja Widya jatuh berkali-kali hingga tubuhnya lecet semua. Widya tak kenal menyerah dan teru kembali berdiri. Orang-orang di sekelilingnya yang ingin membantunya diabaikan begitu saja. Dalam pandangan yang sedikit kabur, dilihatnya sosok yang dia kenal yang tak lain adalah Dito. Tapi, Widya tak bisa memastikannya karena dia melihatnya dari belakang.
            Widya hampir mencapai sosok tersebut, tapi dia kembali terjatuh dan orang tersebut sudah pergi meninggalkan tempat itu. Widya menyesali dirinya yang tak bisa melakukan apa-apa. Andai saja dia diberi selangkah saja untuk menjangkau sosok tersebut, dia pasti sudah bisa memanggilnya.
            “Posisimu sekarang jadi seperti diriku dulu ya, Wid,” sebuah suara mengejutkan Widya. Dilihatnya Dito dalam posisi berdiri memandanginya sambil tertawa kecil.
            “Syukurlah Dito kau belum berangkat. Maafkan aku atas sikapku selama ini, ku mohon kau jangan pergi,” kata Widya dengan nafas yang terengah – engah.
            “Tidak bisa, Wid. Aku harus pergi. Semenjak aku mengenalmu, kau mengajariku bagaimana sulitnya memegang tanggung jawab yang besar. Untuk itu, aku akan memegang tanggung jawab yang besar untuk keluargaku. Tapi tenang saja, aku janji suatu saat aku akan kembali dan akan langsung menemuimu,” ujar Dito dengan yakin.
            “Aku akan setia menunggumu.”
            Dito pun memeluk Widya dengan hangat. Keduanya tak mau melepaskan pelukan mereka dan saling memeluk dengan erat. Sebelum Dito melepaskan pelukannya, Dito berbisik “I LOVE YOU.” Widya hanya kaget bercampur senang mendengar semua itu. Widya pun membalasnya “I LOVE YOU TOO.”
            “Hey, apa yang kamu lamunkan, Wid! Cepat segera berdiri.”
            Widya pun tersadar dan sedikit kecewa. Ternyata semua yang dia lihatnya tadi hanyalah sebuah khayalannya belaka. Dito hanya menatapnya dengan penuh kebingungan.
            “Ya sudah, Wid. Aku harus segera berangkat, nanti aku ketinggalan pesawat,” Dito pun pergi melangkah pergi dan melambaikan tangan meninggalkan Widya.
            Widya hanya melepas kepergian Dito dengan senyuman. Di lihatnya lambaian tangan Dito dengan seksama. Sebuah hand band melekat di pergelangan tangannya yang tak lain pemberian Widya sendiri. Widya hanya senyum-senyum sendiri melihat Dito yang masih saja menyimpan benda itu. Widya sangat menginginkan mengungkapkan perasaannya kepada Dito. Tapi, Dito lebih berharga di matanya sebagai seorang sahabat dibandingkan seorang pacar. Jadi, dia rela melepas sahabatnya tersebut untuk menuju hidup yang lebih baik.
            Widya belajar berbagi hal tentang cinta selama mengenal Dito. Dia belajar bahwa jalan menuju cinta itu tidak selamanya lurus. Ada tikungan yang namanya kegagalan. Bundaran yang bernama kebingungan. Tanjakan yang bernama godaan. Lampu merah yang bernama kejanggalan. Lampu kuning yang bernama perdebatan. Dan engkau akan mengalami ban kempes yang bernama kecemburuan. Tetapi bila engkau memiliki ban serep bernama kesabaran, asuransi yang bernama iman, dan pengemudi yang bernama kepercayaan, engkau akan sampai ke tempat yang bernama "CINTA SEJATI" meskipun kau tak bisa memilikinya.
            Dibalik kata-kata cinta, tidak semua akan bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita. karena indahnya cinta tak semanis namanya. Tapi indahnya persahabatan sungguh tak ternilai harganya, tak akan ada yang bisa menggantikan seorang sahabat meskipun pacar sekalipun. Teman adalah sandaran perasaan, Sahabat adalah penopang keistiqomahan, dan teman sejati adalah amalan.

0 komentar:

Posting Komentar