“Lain kali hati-hati,” sosok
tersebut berkata dengan lembut yang diikuti bayangan aneh yang berada tepat di
belakangnya.
Sosok
itu tersenyum padaku meskipun senyuman tersebut tidak bisa kupandang dengan
mata cemerlangku. Sekejap kilat langsung kupasang kacamataku, tak mau
melepaskan pandangan yang misterius tersebut. Sosok tersebut memiliki rambut
yang lurus agak sedikit acak-acakan menutupi bagian kepala hingga leher. Sosok
tersebut berbalik dan alangkah terkejutnya aku layaknya tersambar petir. Sosok
yang kulihat tadi adalah seorang laki-laki dengan tampang yang mengagumkan
seperti artis-artis korea yang ada di zaman sekarang yang membuatku ingin muntah
melihat mukanya. Dengan memberanikan diri kutarik nafasku agar keadaanku
kembali lebih baik. Lalu kudekati sosok tersebut dengan perlahan.
“Emm…
Maaf, Kak. Untuk yang tadi saya benar-benar berterima kasih sekali.”
“Sama-sama,
Dik. Sudah sepantasnya kita sesama umat manusia harus saling tolong menolong.
Lain kali hati-hati kalau jalan. Kakak sarankan lebih baik pakai lensa kontak
saja supaya lebih enak,” lelaki tersebut membalas dengan ramah.
Hatikupun
merasakan sedikit kejanggalan yang melekat dalam benakku. Suara yang tadi
kudengar sangat jelas sekali berbeda dengan suara yang barusan kudengar.
“Jelas-jelas tadi suara perempuan. Tapi kok sekarang berubah jadi laki-laki.
Apa jangan-jangan lelaki ini memiliki kepribadian ganda? Ataukah hanya
perasaanku saja?”
“Ada
apa, Dik? Kok bengong gitu?” Tanyanya dengan muka yang bingung.
“Ah,
tidak apa-apa kok, Kak. Kalau begitu saya permisi dulu.”
Dengan
cepat kuambil langkah seribu menuju ke sekolahku yang telah lama menungguku.
Raja surya yang tadinya berpesona seketika menutupi dirinya dengan selimut
awan. Tak lupa dari kejauhan kulihat lagi orang yang tadi sudah mengulurkan
tangannya untukku. Sekarang tampak dengan jelas dalam mobil yang ditumpanginya
sosok wanita yang berpesolek rupawan dengan sebuah buku kecilnya yang terlihat
sangat tua. Hatiku kecilku berkata apakah suaranya lah yang aku dengar.
***
Seperti
biasa, suasana taman ria selalu menemani hari-hariku di kelasku yang tercinta
saat guru tak ada di kelas. Sapu–sapu sudah dianggapkan pedang di film-film bajak
laut yang sering aku tonton. Papan tulis selalu diperlakukan seenaknya dengan
gambar-gambar yang merusak pemandangan. Sumber daya kapur pun mulai menipis tak
seimbang dengan sumber daya siswa yang menggunakannya. Telah berulang kali
kubolak-balikan lembaran buku matematika yang telah usang dan penuh
coretan-coretan tinta yang membelit bak cacing yang kepanasan. Aku hanya duduk
terdiam membatu di depan buku itu tidak mempedulikan keadaan sekitarnya yang
serasa pasar obral. Aku pun mulai bosan dan segera beranjak dari tempat dudukku
dan meninggalkan kelas yang rusuh tersebut menuju ke perpustakaan, tempat
favoritku.
“Bu,
buku novel Negeri Lima Menara sudah dikembalikan, belum?” tanyaku dengan
ramah kepada penjaga perpustakaan.
“Maaf,
Nak. Buku tersebut masih dipinjam dan sampai sekarang belum dikembalikan.”
“Memangnya
siapa Bu yang meminjam sampai selama ini? Padahal novel tersebut sudah lama aku
ingin membacanya,” kataku agak sedikit kecewa.
“Gadis
yang ada disebelah sana!” tunjuk Ibu itu ke sudut pojok perpustakaan.
Diantara
sudut-sudut buku yang ada dipojok perpustakaan tampak sesosok wanita anggun
yang dengan seriusnya membaca buku yang ada di depannya yang seakan-akan
terhipnotis sehingga tak menyadari kehadiran diriku yang perlahan mendekatinya.
Kupandangi seksama wanita tersebut yang dililit oleh kabel-kabel yang
menghiasai lehernya dan menjalar hingga ke daun telinganya yang ditutupi rambut
ikalnya yang panjang dan mengembang.
“Maaf,
apa kau yang meminjam novel Negeri Lima Menara?”
Tak
ada balasan dari gadis itu. Bahkan satu sentipun matanya tak berpaling menoleh
ke arahku. Aku pun menyerah karena aku tak mau sedikit pun mengganggu
konsentrasinya. Kuamati buku yang sedang dibacanya, Negeri Lima Menara.
Jelas sekali judul buku yang dibacanya adalah novel yang selama ini aku
cari-cari sampai menunggu berabad-abad. Mataku terpaku pada buku lusuh yang ada
di depannya. Buku tersebut sangat asing bagiku dan terlihat benar-benar tak
diurus. Aku mulai penasaran dengan buku tersebut dan kucoba untuk menggapainya.
Tanpa
kusadari ditolehkannya mukanya kepadaku dengan sedikit kaget, “Ada perlu apa?”
“Maaf,
aku telah lancang ingin mengambil bukumu. Sepertinya buku ini menarik. Boleh
aku pinjam?” Jawabku dengan salah tingkah.
“Tidak
boleh, ini bukuku. Jangan sampai sekalipun kau membacanya.”
“Maaf
kalau begitu,” jawabku dengan sedikit gugup. “Ngomong-ngomong apa kita pernah
bertemu? Sepertinya aku mengenalmu?”
“Oh
ya aku ingat. Kamu kan cowok yang kehilangan kacamatanya kemarin, kan?”
“Oh
jadi kamu yang kemarin nolongin aku. Makasih banget ya. Maaf ya aku tidak
sempat melihat mukamu kemarin. Aku tak terlalu mengenalimu. Lantas siapa lelaki
yang bersamamu itu?”
“Oh itu bukan siapa-siapa,” katanya
sambil tertawa. “Nama kamu siapa? Aku Rani.”
“Aku
Damar. Senang berkenalan denganmu. Ngomong-ngomong ini buku apa sebenarnya?
Kenapa kau tak membolehkanku meminjamnya?”
“It’s
secret,” katanya sambil mengedipkan mata. “Suatu saat aku akan meminjamkannya
kepadamu, kau hanya cukup bersabar.”
Kamipun
melakukan percakapan sederhana dan mengenal satu sama lain. Tali persahabatan
ini pun dapat diputuskan dengan hanya bunyi bel yang sederhana menarik
perhatian seluruh siswa untuk kembali ke habitatnya. Semenjak saat itu aku pun
lebih sering mengunjungi perpustakaan dan selalu bertemu dengannya dan menjalin
keakraban. Tapi tetap saja buku lusuh yang dibawanya setiap hari itu menjadi
hal yang misterius dari gadis itu.
***
Hari berganti hari, minggu berganti
minggu, bulan berganti bulan bahkan tahun berganti tahun rasanya menunggu kehadirannya
yang tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Sudah lama tak kujumpai sosok
sahabat yang telah biasa menempatkan dirinya di perpustakaan. Lama-kelamaan
kurasakan benih cinta sudah tumbuh kedalam lubuk hatiku.
Kuusir
kebosananku dengan mencari buku-buku yang telah lama tak kusentuh. Instingku
pun berkata untuk melangkah ke suatu tempat asing, tempat yang telah lama
terkunci diasingkan oleh kalangan siswa. Perlahan kubuka pintu tersebut dan
kudapati sebuah ruang kecil yang berdebu dengan udara yang mencekik leher.
Langkah kakiku pun melangkah seenaknya menuju ke suatu kotak mungil berbentuk
kotak harta karun. Kubuka kotak tersebut dan kutemukan sebuah buku mungil yang
usang berdebu dan sangat lusuh. Kuamati dengan seksama buku tersebut, buku itu
sangat mirip dengan buku yang selalu dibawa gadis misterius tersebut. Karena
penasaran aku pun berniat membawa buku tersebut pulang ke gubuk kecilku.
“Bu, Aku pinjam buku ini yang ada di
dalam gudang.”
Penjaga perpustakaan tersebut hanya
mengkerutkan dahinya dan menampangkan wajah yang sedikit bingung, “Kau boleh
ambil buku itu jika kau mau.”
Dalam perjalanan pulangku, aku
selalu dihantui dengan perasaan yang aneh. Pikiranku mulai menjadi keruh dan
berpikir hal yang aneh tentang Rani, “Kenapa buku ini bisa ada di gudang?
Bukankah ini buku milik Rani? Kenapa dia tinggalkan di perpus?”
Kubuang rasa penasaranku dan mulai
berpositif thinking. Dari jauh aku hanya bisa melihat mobil yang berlalu lalang
melintasi jalan kota. Salah satu mobil membuatku tak berhenti menatapnya.
Dengan muka yang terkejut setengah mati, kulihat salah satu wajah yang tertutup
oleh kilauan sang surya di dalam mobil. Dengan langkah kuda, mobil itu pun
hilang dari hadapanku yang tak lagi memberikan
ku kesempatan untuk mengetahui wajah tersebut. Tapi dalam benakku
berkata, “Bukankah itu Rani?”
***
Telah sejuta kali kulirik handphone
menunggu balasan dari sang pujaan hati yang sudah lama tidak kutemui. Tiba-tiba
kuteringat dengan buku yang telah kupinjam di perpustakaan. Kuamati dengan seksama
buku tersebut dan tak ada hal yang menarik dari sampulnya. Akupun semakin
penasaran dan membuka halaman pertama.
Waktu
akan terus berputar dan tak akan pernah kembali. Hanya penyesalan yang didapat
meskipun tangisan darah akan menetes. Hanya ada beberapa kali kesempatan yang
kau punya untuk menuju kesunyian diri.
Kata-kata yang
pertama kubuka saat membuka buku tersebut yang semakin membuat kepalaku berisi
pertanyaan aneh. Dengan membuka lembaran kedua benakku berkata akan menemukan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah menghantuiku. Tanpa ragu kubuka
lembaran selanjutnya dan yang tersisa hanyalah halaman kosong dengan kertasnya
yang lusam.
“Buku yang aneh, tapi kenapa Rani
tidak membolehkanku membacanya?”
Dengan memanfaatkan bakat menulisku yang
sudah sangat dipuji oleh teman-teman dan guru-guruku, Kucurahkan semua
perasaanku yang telah kualami selama ini. Dengan lincah tinta penaku merajut
kertas lusuh tersebut, menceritakan wanita yang telah lama kucintai. Tiba-tiba
sesuatu bedering mengagetkan jantungku. Kulirik handphoneku dan kudapati sebuah
pesan yang sudah lama tak kunjung tiba, dari sahabatku Rani.
Maafkan
aku selama ini telah menghilang, bisakah kau menemuiku di taman sekarang.
Dengan bingung kuayunkan sepedaku
menerobos angin malam yang menusuk tulang. Di taman kudapati seorang gadis yang
duduk anggun. Kuhampiri dia dengan
hati-hati dan kulihat senyumnya yang menawan menghiasi malam yang sunyi ini.
“Lupakanlah aku. Jangan pernah cari
aku,” kata-katanya memecahkan keheningan.
“Apa maksudmu? Kenapa kau
tiba-tiba…”
“Aku tidak bisa menjelaskannya
kepadamu. Ini terlalu menyakitkan untuk diceritakan.” katanya diiringi isakan
tangisan air matanya.
“Aku tak mengerti, Kenapa kau
lakukan ini padaku. Asal kamu tahu, Aku menyukaimu,” kataku berterus terang.
Rani kaget dan berhenti dari
isakannya. Kemudian dia menatapku dengan tajam seperti hewan buas yang akan
siap menerkam mangsanya, “Sudah terlambat.”
Sebuah mobilpun berhenti menurunkan
lelaki berambut gondrong yang telah menolongku. Lelaki itu menghampiri dan
merangkul Rani dan membawanya masuk ke mobil. Aku tidak bisa lagi berpikir
jernih, Lelaki itulah yang pasti menjadi alasannya pergi dari hidupku. Aku
terjatuh tak berdaya hanya bisa menangisi kepergian gadis yang kucintai.
Bayangannya masih mebekas dalam memoriku dan perlahan semuanya sirna ditutupi
oleh hujan deras yang turun mengikuti suasana hatiku.
***
Kulampiaskan rasa sedihku dengan
botol-botol yang berbau tak sedap. Sudah kuhabiskan 2 botol minuman alkohol
yang tersimpan di ruang kerja ayahku yang sedang berada di luar kota. Akupun
mulai mabuk dan bayangan Rani kembali membekas di kepalaku dan tak bisa
kulupakan. Tanpa sengaja salah satu botol tertumpah tersenggol oleh tanganku.
Airnya pun mengalir bak sungai yang deras dan menetes di buku milik Rani.
Fenomena aneh terjadi, buku kosong yang telah lama tak berbekas mulai
menunjukkan jati dirinya. Aku hanya bisa melihat buku tersebut dengan tatapan
kosong. Segala kemisteriusan dari gadis itu pun terbongkar. Lembar demi lembar
kuamati yang menuntunku ke isi hati Rani yang sebenarnya.
“Rani, kenapa kau rahasiakan semua
ini,” benakku dalam hati.
Dengan cepat kuambil sepedaku dan
mencari kebenaran dari Rani. Dengan kepala yang sedikit pusing kuayunkan
sepedaku menerobos angin malam dan melewati mobil-mobil yang berlalu lalang.
Beberapa mobil yang ku lewati hampir membuatku kehilangan hidupku. Dengan nafas
yang tergopoh-gopoh, aku tiba ke sebuah gedung yang megah yang banyak di
kerumuni banyak orang yang memerlukan kebutuhan nyawanya. Cukup dengan langkah
kilatku, kutemukan Rani yang tertidur dengan pulasnya di dalam ruangan yang
sedingin kutub utara. Semua orang hanya bisa terdiam dengan kedatanganku dan
tak bisa menghentikan keringat yang keluar dari bola mata.
Kuhampiri tubuh Rani yang mulai
membeku, “Hei, Ran. Ini aku sahabatmu. Maafkan aku, aku telah melanggar
kata-katamu untuk tidak menemuimu. Tolonglah bangun untukku,” air mataku tak
dapat berhenti mengalir.
“Sudahlah,
Dik. Biarkanlah dia pergi dengan damai,” lelaki berambut gondrong itu yang
rupanya adalah kakak Rani mencoba menenangkanku.
Aku
berusaha tenang dan pergi dari ruang tersebut. Kubuka lagi buku yang telah
diam-diam kupinjam dari Rani yang tersimpan di perpustakaan. Di buku tersebut
sangat jelas Rani sudah menderita penyakit kanker sebelum dia bertemu
dengannya. Tapi, aku tetap kagum dengan kegigihan Rani melawan penyakit itu.
Akupun membuka lembar terakhir yang ditulis Rani.
Sakit
rasanya Ya Tuhan harus menanggung beban ini, saya sudah tidak sanggup lagi.
Tapi, aku akan mencoba tegar menghadapi takdirku ini. Meskipun Damar tidak bisa
kumiliki, dia cukup ada di dalam hatiku dan aku selalu menjadi pengobat dari
rasa sakit yang kuderita ini. Mungkin dia adalah orang yang kucintai di dunia
ini. Tapi rasa cintaku kepadamu tidak akan bisa menyainginya. Biarkanlah takdir
yang akan membawa ke tujuan hidupku. Aku yakin Engkau akan berikan yang terbaik
untukku. Semoga nanti dia dapat menemukan buku ini dan mengetahui segalanya
jika dia memang jodohku. Kutitipkan buku ini padamu Ya Tuhan.
Kutangisi kata-kata terakhir yang ada di
buku misterius Rani. Dengan penyakit yang dia derita, dia tetap saja masih bisa
bertaqwa kepada Tuhan bahkan tawakal untuk menemukan jodohnya. Tak ada satu
kata pun penyesalannya dalam menghadapi cobaan ini, bahkan dia berusaha untuk
menjalaninya. Rani benar-benar dapat mengendalikan nafsunya sehingga ia bisa
tertidur dengan damai di dekat orang-orang yang di cintainya. Aku pun bertekad
akan selalu mencoba untuk menjadi seperti Rani dan tidak akan pernah melupakan
Tuhan. Kunci dari hidup ini adalah dapat mengendalikan hawa nafsu sehingga pada
akhir hayat kita bisa meninggalkan dunia ini dengan penuh senyuman.
Kututup buku itu dan aku pun kembali ke
ruangan yang penuh duka tersebut. Kuletakkan buku tersebut dalam rangkulan Rani
yang sudah tertidur dengan lelap. Aku hanya dapat menitipkan harapan dari buku
yang kupinjam untuk berbagi kisahku
padanya.
menyentuhh
BalasHapushehehehe
kata-katanya mudah dicerna koq tapi diakhir nya sudah mulai kebingungan....
samalah kita madhan....
wkwkw
komen..
BalasHapushuaaa............
keren.
kpn2 bkin yg castnyo aku ye, man.. :D
tapi jgn sad.. :)